Senin, 04 April 2016

ATURAN TERTULIS PEMERINTAH TENTANG OBAT RESEP DOKTER YANG MENGANDUNG NARKOTIKA



ATURAN TERTULIS PEMERINTAH TENTANG OBAT RESEP DOKTER YANG MENGANDUNG NARKOTIKA








                     Nurul Aisyah
                   361441311113
                     Agribisnis 2D





PROGRAM STUDI D-IV AGRIBISNIS
POLITEKNIK NEGERI BANYUWANGI
2016
 
ATURAN TERTULIS PEMERINTAH TENTANG OBAT RESEP DOKTER YANG MENGANDUNG NARKOTIKA
Dalam PP 51 tahun 2009 pasal 24 huruf c, dalam melakukan pekerjaan kefarmasian pada fasilitas pelayanan kefarmasian, apoteker dapat menyerahkan obat keras, narkotika dan psikotropika kepada masyarakat atas resep dari dokter sesuai dengan ketentuan peraturan. Secara tidak langsung pada pasal ini dijelaskan seorang apoteker hanya bisa menyerahkan obat keras dengan resep dokter. Swamedikasi obat keras non OWA di apotek dapat dikatakan sebagai bentuk pelanggaran hukum PP 51 th 2009.
Pelanggaran hukum yang dilakukan tidak hanya sebatas pada PP No. 51 tahun 2009 tentang pekerjaan kefarmasian, tetapi juga terhadap Undang-Undang No 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Praktek swamedikasi obat keras akan bertetangan dengan hukum diatas, jika tidak dilakukan oleh apoteker di apotek yang dibenarkan oleh peraturan hukum yang berlaku di Indonesia hanya swamedikasi obat keras yang termasuk Obat Wajib Apotek.
Peraturan mengenai Daftar Obat Wajib Apotek tercantum dalam:
  1. Keputusan Menteri Kesehatan nomor 347/ MenKes/SK/VII/1990 tentang Obat Wajib Apotek berisi Daftar Obat Wajib Apotek No. 1
  2. Keputusan Menteri Kesehatan nomor 924/ Menkes / Per / X / 1993 tentang DaftarObat Wajib Apotek No.2
  3. Keputusan Menteri Kesehatan nomor 1176/Menkes/SK/X/1999 tentang Daftar Obat Wajib Apotek No.3
Eksipien
Bahan resmi, yang dibedakan dari sediaan resmi, tidak boleh mengandung bahan yang ditambahkan, kecuali secara khusus diperkenankan dalam monografi. Apabila diperkenankan, pada penandaan harus tertera nama dan jumlah bahan tambahan tersebut. Kecuali dinyatakan lain dalam monografi atau dalam ketentuan umum Farmakope Indonesia, bahan-bahan yang diperlukan seperti bahan dasar, penyalut, pewarna, penyedap, pengawet, pemantap dan pembawa dapat ditambahkan ke dalam sediaan resmi untuk meningkatkan stabilitas, manfaat atau penampilan maupun untuk memudahkan pembuatan. Bahan tambahan tersebut dianggap tidak sesuai dan dilarang digunakan, kecuali (a) bahan tersebut tidak membahayakan dalam jumlah yang digunakan, (b) tidak melebihi jumlah minimum yang diperlukan untuk memberikan efek yang diharapkan, (c) tidak mengurangi ketersediaan hayati, efek terapi atau keamanan dari sediaan resmi, (d) tidak mengganggu dalam pengujian dan penetapan kadar.
PELAYANAN PSIKOTROPIKA
Menurut pasal 14 UU No. 5 tahun 1997 tentang psikotropika:
Ayat 2   : Penyerahan psikotropika oleh apotek haya dapat dilakukan kepada:
  1. Apotek lainnya
  2. Rumah sakit
  3. Puskesmas
  4. Balai pengobatan
  5. Dokter
  6. Pengguna/pasien
Ayat 4   : Penyerahan psikotropika oleh apotek, rumah sakit, puskesmas dan balai pengbatan dilaksanakan berdasarkan resep dokter
Ayat 5   : Penyerahan psikotropika oleh dokter dilaksanakan dalam hal:
  1. Menjalankan praktek terapi dan diberikan melalui suntikan
  2. Menolong orang sakit dalam keadaan darurat
  3. Menjalankan tugas di daerah terpencil yang tidak ada apotek
Ayat 6   : Psikotropika yang diserahkan dokter hanya dapat diperoleh di apotek.
Pencatatan dan pelaporan terhadap pengelolaan psikotropika diatur dalam pasal 33 UU no 5 tahun 1997 yakni “Pabrik obat, pedagang besar farmasi, sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah, apotek, rumah sakit, puskesmas, balai pengobatan, dokter, lembaga penelitian dan/ atau lembaga pendidikan” wajib membuat dan menyimpan catatan mengenai kegiatan masing-masing yang berhubungan dengan psikotropika.
Pada pasal 53 UU no 5 tahun 1997 disebutkan bahwa
Ayat 1 pemusnahan psikotropika dilaksanakan dalam hal :
  1. Berhubungan dengan tindak pidana
  2. Diproduksi tanpa memenuhi tandar dan persyaratan yang berlaku dan/atau tidak dapat digunakan dalam proses produksi psikotropika
  3. Kadaluarsa
  4. Tidak memenuhi syarat untuk digunakan pada pelayanan kesehatan dan / atau untuk kepentingan ilmu pengetahuan.
Dalam UU no 5 tahun 1997 ini tidak mengatur secara detail tentang teknis pelaksanaan pemusnahan psikotropika. Dalam pasal 12 ayat 2 permenkes no 922 tahun 1993 disebutkan bahwa “ sediaan farmasi yang karena sesuatu hal tidak dapat digunakan lagi atau dilarang digunakan, harus dimusnahkan dengan cara dibakar atau ditanam atau dengan cara lain yang ditetapkan oleh menteri.
Pada pasal 53 ayat 2 UU no 5 tahun 1997 hanya menyebutkan tentang siapa yang memusnahkan psikotropika. Pernah dikeluarkan surat edaran yang berisi tentang pemusnahan dimana narkotika dan psikotropika disamakan yakni pada surat edaran kepala direktur pengawasan narkotika dan bahan berbahaya Dir Jend POM Dep. Kes. RI nomor 010/EE/SE/81 tanggal 8 Mei 1981 tentang pemusnahan /penyerahan narkotika atau psikotropika yang rusak / tidak terdaftar. Bila mengacu surat edaran ini, maka teknis pelaksanaan pemusnahan psikotropika sama seperti pada narkotika.
PENGELOLAAN NARKOTIKA
Menurut  pasal 39 UU no 22 tahun 1997 tentang narkotika;
Ayat 2   : Apotek hanya dapat menyerahkan narkotika kepada :
  1. Runah sakit
  2. Puskesmas
  3. Apotek lainnya
  4. Balai pengobatan
  5. Dokter
  6. Pasien
Ayat 3   : Rumah sakit, apotek, puskesmas dan balai pengobatan  hanya dapat menyerahkan narkotika kepada pasien berdasarkan resep dokter
Ayat 4   : Penyerahan narkotika oleh dokter hanya dapat dilaksanakan dalam hal;
  1. Menjalankan praktek dokter dan diberikan melalui suntikan
  2. Menolong orang sakit dalam keadaan darurat
  3. Menjalankan tugas di daerah terpencil yang tidak ada apotek.
Ayat 5   : Narkotika dalam bentuk suntikan dalam jumlah tertentu yang diserahkan dokter hanya dapat diperoleh dari apotek.
Pemusnahan narkotika diatur dalam pasal 60 dan 61 UU no 22 tahun 1997.
Pasal 60 : Pemusnahan dilakukan dalam hal :
  1. Diproduksi tanpa  memenuhi standar dan persyaratan yang berlaku dan atau tidak dapat digunakan dalam proses produksi;
  2. Kadaluarsa
  3. Tidak memenuhi syarat untuk digunakan pada pelayanan kesehatan dan atau untuk pengembangan ilmu pngetahuan; atau
  4. Berkaitan dengn tindak pidana.”
Pasal 61 :
(1)   Pemusnahan narkotika sebagaimana dimaksud dalam pasal 60 huruf a, b, dan c dilaksanakan oleh pemerintah, orang, atau badan yang bertanggungjawab atas produksi dan atau peredaran narkotika, sarana kesehatan tertentu, serta lembaga ilmu pengetahuan tertentu dengan disaksikan oleh pejabat yang ditunjuk menteri kesehatan.
(2)   Pemusnahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan pembuatan berita acara yang sekurang-kurangnya memuat :
  1. nama, jenis, sifat, dan jumlah;
  2. keterangan tempat, jam, hari, tanggal, bulan dan tahun, dilakukan pemusnahan; dan
  3. tanda tangan dan identitas lengkap pelaksana dan pejabat yang menyaksikan pemusnahan
(3)   Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara pemusnahan  narkotika
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Keputusan Menteri Kesehatan.
Dalam ketentuan peralihan undang-undang peralihan tersebut disebutkan bahwa “semua peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan UU No. 9 Tahun 1976 tentang narkotik masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan atau belum diganti”, dengan peraturan baru berdasarkan undang-undang ini. Oleh karena itu ketentuan dibawah ini masih berlaku.
  1. Resep dari luar propensi harus mendapatkan persetujuan dari dokter setempat
  2. Salinan resep untuk obat yang baru diambil sebagaian tidak boleh dilayani oleh apotek lain
  3. Resep yang berisi narotika tidak boleh iterasi
  4. Penyimpanan narkotika pada lemari yang mempunyai ukuran 40 x 80 x 100 cm, dapat berupa almari yang diketatkan di dinding atau menjadi suatu kesatuan dengan almari yang besar
  5. Almari tersebut mempunyai 2 kunci yang satu untuk menyimpan narkotika sehari-hari dan yang lainnya untuk narkotika persediaan dan morfin, pethidin dan garam-garamnya
  6. Laporan narkotika disampaikan setiap bulan
  7. Pemesanan narkotika menggunakan surat pesanan model N-9 rangkap 5 setiap satu lembar pesanan berisikan 1 macam narkotika
  8. Pencatatan narkotika menggunakan buku register narkotika
Ketentuan tentang resep dan salinan resep narkotika juga diatur dalam Surat Edaran Dirjen POM 336/E/SE/1997 tanggal 4 Mei 1997 yang menyebutkan bahwa:
  1. Apotek dilarang melayani salinan resep yang mengandung narkotika, walaupun resep tersebut baru dilayani sebagian atau belum dilayani sama sekali
  2. Untuk resep narkotika yang baru dilayani sebagian atau belum dilayani sama sekali, apotek boleh membuat salinan resep, tetapi salinan resep tersebut hanya boleh dilayani di apotek yang mentimpan resep aslinya.
  3. Salinan resep atau resep narkotika dengan tulisan iter tidak boleh dilayani sama sekali. Untuk mencegah pertengkaran di apotik harap diumumkan kepada dokter agar tidak menambah tulisan iter pada resep-resep yang menangandung narkotika.
Tempat penyimpanan narkotika juga diatur dalam pasal 5 permenkes no 28 tahun 1978 tentang penyimpanan narkotika yakni:
  1. Apotik dan rumah sakit harus memiliki tempat khusus untuk menyimpan narkotika
  2. Tempat khusus pada ayat 1 harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
    1. Harus dibuar seluruhnya dari kayu atau bahan lain yang kuat
    2. Harus mempunyai kunci yang kuat
    3. Dibagi dua masing-masing dengan kunci yang berlainan, bagian pertama dipergunakan untuk menyimpan morfina, petidina dan garam-garamnya, serta persediaan narkotika, bagian kedua dipergunakan untuk menyimpan narkotika lainnya yang dipakai sehari-hari.
    4. Apabila tempat khusus tersebut berupa lemari berukuran kurang dari 40 X 80 X 100 cm, maka lemari tersebut harus dibuat pada tembok atau lantai.

Senin, 28 Maret 2016

kasus deontologi dan imperatif


TEORI DEONTOLOGIS dan IMPERATIF




Nurul Aisyah 
(361441311113)



PROGRAM STUDI D-IV AGRIBISNIS
POLITEKNIK NEGERI BANYUWANGI
2016

Etika deontologis adalah teori filsafat moral yang mengajarkan bahwa sebuah tindakan itu benar kalau tindakan tersebut selaras dengan prinsip kewajiban yang relevan untuknya. Akar kata Yunani deon berarti 'kewajiban yang mengikat' dan logos berarti “pengetahuan”. Istilah "deontology" dipakai pertama kali oleh C.D. Broad dalam bukunya Five Types of Ethical Theory. Etika deontologis juga sering disebut sebagai etika yang tidak menganggap akibat tindakan sebagai faktor yang relevan untuk diperhatikan dalam menilai moralitas suatu tindakan.
Dalam pemahaman teori Deontologi memang terkesan berbeda dengan Utilitarisme. Jika dalam Utilitarisme menggantungkan moralitas perbuatan pada konsekuensi, maka dalam Deontologi benar-benar melepaskan sama sekali moralitas dari konsekuensi perbuatan. ”Deontologi” ( Deontology ) berasal dari kata dalam Bahasa Yunani yaitu : deon yang artinya adalah kewajiban. Dalam suatu perbuatan pasti ada konsekuensinya,dalam hal ini konsekuensi perbuatan tidak boleh menjadi pertimbangan.Perbuatan menjadi baik bukan dilihat dari hasilnya melainkan karena perbuatan tersebut wajib dilakukan. Deontologi menekankan perbuatan tidak dihalalkan karena tujuannya. Tujuan yang baik tidak menjadi perbuatan itu juga baik.Di sini kita tidak boleh melakukan suatu perbuatan jahat agar sesuatu yang dihasilkan itu baik, karena dalam Teori Deontologi kewajiban itu tidak bisa ditawar lagi karena ini merupakansuatukeharusan.
Contoh : kita tidak boleh mencuri, berbohong kepada orang lain melalui ucapan dan perbuatan.
Para penganut etika deontologis, seperti Immanuel Kant (1724-1804) sebagai pelopornya misalnya, berpendapat bahwa norma moral itu mengikat secara mutlak dan tidak tergantung dari apakah ketaatan atas norma itu membawa hasil yang menguntungkan atau tidak. Misalnya norma moral "jangan bohong" atau "bertindaklah secara adil" tidak perlu dipertimbangkan terlebih dulu apakah menguntungkan atau tidak, disenangi atau tidak, melainkan selalu dan di mana saja harus ditaati, entah apa pun akibatnya. Hukum moral mengikat mutalk semua manusia sebagai makhluk rasional.
Konsep-konsep Deontologi
  1. Sistem etika ini hanya menenkankan suatu perbuatan di dasarkan pada wajib tidaknya kita melakukan perbuatan itu.
  2. Yang disebut baik dalam arti sesungguhnya hanyalah kehendak yang baik, semua hal lain di sebut baik secara terbatas atau dengan syarat. Contohnya : kesehatan, kekayaan, intelegensia, adalah baik juka digunakan dengan baik oleh kehendak manusia. Tetapi jika digunakan oleh kehendak jahat, semua hal itu menajdi jahat sekali.
  3. Kehendak menjadi baik, jika bertindak karena kewajiban. Kalau perbuatan dilakukan dengan suatu maksud atau motif lain, perbuatan itu tidak bisa di sebut baik, walaupun perbuatan itu suatu kecendrungan atau watak baik.
  4. Perbuatan dilakukan berdasarkan kewajiban, bertindak sesuai dengan kewajiban si sebut legalitas. Dengan legalitas kita memenuhi norma hukum.
Argumen Kant dibuka dengan pernyataan bahwa kebaikan tertinggi (summum bonum) haruslah baik per se dan baik tanpa kualifikasi,Sesuatu dianggap "baik per se" bila hal tersebut secara intrisik baik, dan "baik tanpa kualifikasi" adalah ketika penambahan hal tersebut tidak membuat keadaan menjadi lebih buruk secara etis. Kant lalu menyatakan bahwa hal-hal yang biasanya dianggap baik, seperti kecerdasan, ketekunan, dan kesenangan, tidak baik per se atau baik tanpa kualifikasi. Misalnya, kesenangan tampaknya tidak baik tanpa kualifikasi, karena jika seseorang senang melihat orang lain menderita keadaan tersebut buruk secara etis. Ia menyimpulkan bahwa hanya ada satu hal yang sungguh baik, yaitu niat baik.
Kant lalu berargumen bahwa dampak dari suatu niatan tidak dapat dijadikan patokan untuk mengetahui niat baik seseorang; dampak positif dapat muncul secara kebetulan dari tindakan yang dimaksudkan untuk melukai seseorang, dan dampak negatif dapat muncul dari tindakan yang berniat baik. Kant malah mengklaim bahwa seseorang berniat baik bila ia bertindak berdasarkan penghormatan pada hukum moral.Orang-orang bertindak berdasarkan penghormatan pada hukum moral karena mereka memiliki kewajiban untuk melakukan hal tersebut. Maka, satu-satunya hal yang sungguh baik adalah niat baik, dan niat baik hanya baik bila orang yang memiliki niatan tersebut melakukan sesuatu karena hal tersebut merupakan kewajiban orang itu, yaitu kewajiban dalam "menghormati" hukum.
Kant juga merumuskan tiga imperatif kategoris:
  • Bertindaklah demikian seakan-akan maksim tindakanmu dapat, melalui kehendakmu, menjadi hukum alam umum[9]
  • Bertindaklah sedemikian rupa sehingga Anda selalu memperlakukan umat manusia entah di dalam pribadi Anda maupun di dalam pribadi setiap orang lain sekaligus sebagai tujuan, bukan sebagai sarana belaka[10]
  • Semua maksim dari perundangan sendiri harus dapat dicocokkan menjadi satu kerajaan tujuan yang mungkin, satu kerajaan alam[9]
  • Deontologi




DAFTAR PUSTAKA